1 Korintus 1:4-9, 1 Tesalonika 5:6, 9-10
Salah satu pengalaman hidup yang paling tidak enak adalah hidup dalam ketidakpastian. Ke sini tidak, ke sana pun tidak. Atau, ke sini ya, ke sana juga ya. Atau, sudah, tetapi juga belum.
Tidak heran, kalau orang Jerman mengatakan, bahwa masa remaja atau masa pubertas adalah periode sturm und drang, masa yang penuh dengan gelora dan gejolak. Apa sebabnya? Sebab, para remaja itu dibilang anak-anak sudah tidak pantas, tetapi dibilang orang dewasa juga belum pantas. Ada yang mengatakan, masa remaja itu dapat diibaratkan seperti secarik kain; terlalu besar untuk dijadikan saputangan, tetapi terlalu kecil untuk dijadikan seprey atau taplak meja. Tidak enak. Ke sini tidak, ke sana juga tidak.
Banyak orang yang mengalami, bahwa sebagai ‘non-pri’ juga tidak enak, karena Cina tidak, tetapi untuk diterima sepenuhnya sebagai orang Indonesia juga tidak. Masih terlalu banyak diskriminasi yang menyakitkan hati.
Minggu-minggu Adven mengingatkan, bahwa hakikat hidup orang Kristen – semua orang Kristen, setiap orang Kristen – hakikat hidup Anda dan saya, adalah seperti itu. Kita semua berada dalam situasi yang “tidak enak” seperti itu. Ke sini tidak, ke sana tidak. Atau lebih tepatnya, ke sini ya, ke sana ya.
Maksudnya, orang Kristen itu hidup di antara yang ‘sudah’ dan yang ‘belum’. Pada satu pihak, Yesus sudah datang. Tetapi pada pihak lain, Ia juga belum datang. Kita masih menantikan kedatangan-Nya kembali untuk kedua kalinya. Kita hidup di antara Adven yang pertama dan Adven yang kedua.
Alkitab, khususnya Perjanjian Baru, banyak sekali berbicara mengenai keadaan kita itu. Hal itu dijelaskan dengan bermacam-macam kiasan.
Paulus misalnya, mengatakan bahwa sekarang ini kita sudah dapat melihat Allah, sudah dapat mengenal Allah – tetapi seperti melalui sebuah cermin yang buram. Kelihatan sih kelihatan, tetapi tidak jelas. Nanti, kata Paulus, kalau Yesus datang kembali, baru kita akan menatap-Nya muka dengan muka (1 Kor 13:12).
Jadi, memang tidak enak. Karena situasi yang seperti inilah, kadang-kadang kita menjerit, “Tuhan, apa sih sebenarnya kehendak-Mu?”, “Apa sih kebaikan yang akan muncul dari penderitaan dan cobaan yang seberat ini?” Tidak jelas, oleh karena kita hanya dapat melihat-Nya melalui cermin yang buram.
Karena itu, jangan teralu cepat percaya kepada orang yang mengklaim bahwa mereka dengan segera, jelas dan langsung – seperti orang menelepon – dapat berkomunikasi dengan Tuhan, mendengar suara Tuhan, mengetahui kehendak Tuhan sampai ke hal-hal yang paling detail. Ini lebih banyak bohongnya daripada benarnya. Sekarang kita belum dapat mengenal Tuhan sejelas-jelasnya. Hal itu baru terjadi nanti!
Alkitab juga mengibaratkan kehidupan Kristiani itu sebagai seorang atlet yang sedang bertanding. Pelari marathon yang sedang berlari. Belum sampai ke finish. Enak? Sudah pasti tidak. O, capeknya luar biasa! Sering kita merasa sudah tidak kuat lagi untuk terus berlari. Sudah kepingin berhenti. Terlalu lemah. Terlalu capek. Kita merasa terlalu kecil untuk memikul beban kehidupan yang terlalu besar dan terlalu berat. Napas kita terengah-engah dan tersengal-sengal. Bersama pemazmur kita berteriak, “Berapa lama lagi, ya Tuhan, berapa lama lagi?” Begitu, ‘kan?
Baru nanti, ketika sudah berhasil mencapai garis finish, berhasil memenangkan pertandingan, memperoleh piala kemenangan – nah, pada saat itu yang ada hanyalah kebahagiaan, kesukacitaan, kebanggaan! Kita akan melupakan semua kelelahan kita. Tetapi itu nanti!
Roma 8 memakai kiasan yang lain lagi. Kiasan seorang wanita yang merasakan sakit bersalin. Saya belum dan tidak akan pernah mungkin dapat merasakannya. Tetapi saya dan Paulus dapat membayangkannya: kesakitan yang sangat, keluhan, ratapan, jeritan. Itulah kenyataan hidup kita yang sekarang! Tetapi apa? Nanti, ketika akhirnya bayi itu lahir, sang ibu mendengar suara “ooooeeeek”, apa lagi kalau sudah boleh mendekapnya, lupalah semua kesakitan dan penderitaannya tadi, yang ada hanyalah kebahagiaan dan sukacita.
Masih banyak kiasan lain. Yang penting untuk kita ketahui adalah, bahwa hakikiat hidup kristiani adalah ibarat sebuah perjalanan. Sudah berangkat, sudah meninggalkan garis start, tetapi belum tiba di tujuan, belum tiba di garis finish. 1 Tesalonika 5:6 berbunyi, “…. Jangan kita tidur…tetapi berjaga-jaga dan sadar.”
Berada dalam keadaan seperti itu memang tidak enak. Ada dua godaan besar pada orang Kristen dalam situasi yang tidak enak itu.
Pertama, mengatakan bahwa segala sesuatu itu belum. Karena belum, maka terlalu gampang berkompromi dengan dosa, terlalu gampang menyerah terhadap dosa. Kadang-kadang malah sudah menyerah sebelum bertempur. Kita mengatakan, “Kita ‘kan masih ada di dunia, belum di sorga”, “Masih manusia, belum atau bukan malaikat!”
Ya, benar juga sih. Memang belum, tetapi bukan hanya belum! Jangan lupa bahwa ada yang sudah. Yesus sudah datang, dan Alkitab berkata, “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru…” (2 Kor 5:17). Ada yang secara fundamental berubah dengan kedatangan Kristus. Segala sesuatu tidak lagi seperti sebelumnya, sudah berlalu. Orang Kristen tidak boleh menjadi sama saja dengan orang-orang lain di dunia ini, seolah-olah Kristus belum pernah datang.
Kedua, mengatakan segala sesuatu itu sudah. Tidak mau mengakui realitas dunia ini. Bahwa dosa itu masih ada. Bahwa Iblis dan kuasa jahat itu masih sangat aktif dan sangat kuat. Bahwa orang masih bisa jatuh dalam dosa, bahwa kita sendiri masih bisa jatuh dalam dosa.
Apa wujud dari jenis godaan yang kedua ini?
Pertama, kesombongan rohani. Merasa diri suci, sempurna, merasa dia sendiri yang Kristen sejati – lalu dengan mudah menjatuhkan vonis kepada orang lain. Tidak menyadari bahwa sebenarnya semua orang sama saja: tetap rawan terhadap godaan si jahat.
Kedua, tidak dapat memaafkan atau mengampuni orang lain yang berbuat salah kepadanya. Lupa, bahwa setiap orang masih bisa jatuh ke dalam dosa. Kita harus menerima kenyataan ini, dan memaafkannya. Belajar dari Yesus, bahwa yang penting bukanlah berapa kali orang jatuh, tetapi bagaimana ia bangun kembali setelah kejatuhannya.
Kita sulit mengampuni orang lain, kadang-kadang dengan tidak menyadari bahwa kita sendiri juga bisa bersalah, dan karena itu juga membutuhkan pengertian dan maaf dari orang lain.
Sudah, tetapi belum. Belum, tetapi sudah. Itulah dialetika kehidupan orang Kristen. Dalam pembacaan kita di dalam 1 Korintus 1:4-9, hal ini juga amat jelas. Pada satu pihak, selama kita hidup dalam dunia ini, kita sudah diberi kemungkinan untuk menikmati pelbagai macam karunia Allah yang indah. Kata ayat 5, “… kamu telah mejadi kaya dalam segala hal…” “… kamu tidak kekurangan dalam suatu karunia pun…” (ay. 7). Tetapi jangan berpuas diri. Kita juga masih harus menantikan penyataan Tuhan kita Yesus Kristus. Kita harus terus berjalan, dan berjalan dengan waspada. Dan “Ia juga akan meneguhkan kamu sampai kepada kesudahannya, sehingga kamu tak bercacat pada hari Tuhan kita Yesus Kristus” (ay. 8).
Hal ini dikatakan begitu, karena kita memang belum tiba. Paulus menyadari bahwa dalam perjalanan itu ada banyak godaan. Namun demikian, Yesus sudah datang. Tuhan sudah memberikan karunia-karunia-Nya. Karena itu tidak perlu kalah, tidak harus kalah, malah tidak boleh kalah! Memang tidak enak, tetapi sebenarnya ada kepastian. Kita pasti menang. Karena Yesus bukan saja belum datang, tetapi juga sudah datang.
Dalam salah satu sidang MPH-PGI, dengan penuh keprihatinan dan tidak jarang pula dengan penuh kecemasan, berjam-jam kami membicarakan gejala-gejala yang tidak menggembirakan: bagaimana umat Kristen di Indonesia semakin tersudut, terjepit, tertekan, bahkan tersisih. Hal itu terjadi di mana-mana. Agaknya, keadaaan akan semakin buruk saja pada waktu-waktu yang akan datang.
Saya tidak tahan lagi. Apa kita cuma bisa mengeluh dan menggerutu? Di antara ‘yang sudah’ dan ‘yang belum’ – antara realitas bahwa ‘Kristus sudah datang’ dan antisipasi bahwa ‘Ia masih akan datang’ – ada apa? Perjuangan!
Itulah arti dari hidup di antara dua Adven, hidup di antara Kristus yang sudah datang dan yang masih akan datang: Berharap! Berharap! Berharap! Dan berjuang!
Tidak heran, kalau orang Jerman mengatakan, bahwa masa remaja atau masa pubertas adalah periode sturm und drang, masa yang penuh dengan gelora dan gejolak. Apa sebabnya? Sebab, para remaja itu dibilang anak-anak sudah tidak pantas, tetapi dibilang orang dewasa juga belum pantas. Ada yang mengatakan, masa remaja itu dapat diibaratkan seperti secarik kain; terlalu besar untuk dijadikan saputangan, tetapi terlalu kecil untuk dijadikan seprey atau taplak meja. Tidak enak. Ke sini tidak, ke sana juga tidak.
Banyak orang yang mengalami, bahwa sebagai ‘non-pri’ juga tidak enak, karena Cina tidak, tetapi untuk diterima sepenuhnya sebagai orang Indonesia juga tidak. Masih terlalu banyak diskriminasi yang menyakitkan hati.
Minggu-minggu Adven mengingatkan, bahwa hakikat hidup orang Kristen – semua orang Kristen, setiap orang Kristen – hakikat hidup Anda dan saya, adalah seperti itu. Kita semua berada dalam situasi yang “tidak enak” seperti itu. Ke sini tidak, ke sana tidak. Atau lebih tepatnya, ke sini ya, ke sana ya.
Maksudnya, orang Kristen itu hidup di antara yang ‘sudah’ dan yang ‘belum’. Pada satu pihak, Yesus sudah datang. Tetapi pada pihak lain, Ia juga belum datang. Kita masih menantikan kedatangan-Nya kembali untuk kedua kalinya. Kita hidup di antara Adven yang pertama dan Adven yang kedua.
Alkitab, khususnya Perjanjian Baru, banyak sekali berbicara mengenai keadaan kita itu. Hal itu dijelaskan dengan bermacam-macam kiasan.
Paulus misalnya, mengatakan bahwa sekarang ini kita sudah dapat melihat Allah, sudah dapat mengenal Allah – tetapi seperti melalui sebuah cermin yang buram. Kelihatan sih kelihatan, tetapi tidak jelas. Nanti, kata Paulus, kalau Yesus datang kembali, baru kita akan menatap-Nya muka dengan muka (1 Kor 13:12).
Jadi, memang tidak enak. Karena situasi yang seperti inilah, kadang-kadang kita menjerit, “Tuhan, apa sih sebenarnya kehendak-Mu?”, “Apa sih kebaikan yang akan muncul dari penderitaan dan cobaan yang seberat ini?” Tidak jelas, oleh karena kita hanya dapat melihat-Nya melalui cermin yang buram.
Karena itu, jangan teralu cepat percaya kepada orang yang mengklaim bahwa mereka dengan segera, jelas dan langsung – seperti orang menelepon – dapat berkomunikasi dengan Tuhan, mendengar suara Tuhan, mengetahui kehendak Tuhan sampai ke hal-hal yang paling detail. Ini lebih banyak bohongnya daripada benarnya. Sekarang kita belum dapat mengenal Tuhan sejelas-jelasnya. Hal itu baru terjadi nanti!
Alkitab juga mengibaratkan kehidupan Kristiani itu sebagai seorang atlet yang sedang bertanding. Pelari marathon yang sedang berlari. Belum sampai ke finish. Enak? Sudah pasti tidak. O, capeknya luar biasa! Sering kita merasa sudah tidak kuat lagi untuk terus berlari. Sudah kepingin berhenti. Terlalu lemah. Terlalu capek. Kita merasa terlalu kecil untuk memikul beban kehidupan yang terlalu besar dan terlalu berat. Napas kita terengah-engah dan tersengal-sengal. Bersama pemazmur kita berteriak, “Berapa lama lagi, ya Tuhan, berapa lama lagi?” Begitu, ‘kan?
Baru nanti, ketika sudah berhasil mencapai garis finish, berhasil memenangkan pertandingan, memperoleh piala kemenangan – nah, pada saat itu yang ada hanyalah kebahagiaan, kesukacitaan, kebanggaan! Kita akan melupakan semua kelelahan kita. Tetapi itu nanti!
Roma 8 memakai kiasan yang lain lagi. Kiasan seorang wanita yang merasakan sakit bersalin. Saya belum dan tidak akan pernah mungkin dapat merasakannya. Tetapi saya dan Paulus dapat membayangkannya: kesakitan yang sangat, keluhan, ratapan, jeritan. Itulah kenyataan hidup kita yang sekarang! Tetapi apa? Nanti, ketika akhirnya bayi itu lahir, sang ibu mendengar suara “ooooeeeek”, apa lagi kalau sudah boleh mendekapnya, lupalah semua kesakitan dan penderitaannya tadi, yang ada hanyalah kebahagiaan dan sukacita.
Masih banyak kiasan lain. Yang penting untuk kita ketahui adalah, bahwa hakikiat hidup kristiani adalah ibarat sebuah perjalanan. Sudah berangkat, sudah meninggalkan garis start, tetapi belum tiba di tujuan, belum tiba di garis finish. 1 Tesalonika 5:6 berbunyi, “…. Jangan kita tidur…tetapi berjaga-jaga dan sadar.”
Berada dalam keadaan seperti itu memang tidak enak. Ada dua godaan besar pada orang Kristen dalam situasi yang tidak enak itu.
Pertama, mengatakan bahwa segala sesuatu itu belum. Karena belum, maka terlalu gampang berkompromi dengan dosa, terlalu gampang menyerah terhadap dosa. Kadang-kadang malah sudah menyerah sebelum bertempur. Kita mengatakan, “Kita ‘kan masih ada di dunia, belum di sorga”, “Masih manusia, belum atau bukan malaikat!”
Ya, benar juga sih. Memang belum, tetapi bukan hanya belum! Jangan lupa bahwa ada yang sudah. Yesus sudah datang, dan Alkitab berkata, “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru…” (2 Kor 5:17). Ada yang secara fundamental berubah dengan kedatangan Kristus. Segala sesuatu tidak lagi seperti sebelumnya, sudah berlalu. Orang Kristen tidak boleh menjadi sama saja dengan orang-orang lain di dunia ini, seolah-olah Kristus belum pernah datang.
Kedua, mengatakan segala sesuatu itu sudah. Tidak mau mengakui realitas dunia ini. Bahwa dosa itu masih ada. Bahwa Iblis dan kuasa jahat itu masih sangat aktif dan sangat kuat. Bahwa orang masih bisa jatuh dalam dosa, bahwa kita sendiri masih bisa jatuh dalam dosa.
Apa wujud dari jenis godaan yang kedua ini?
Pertama, kesombongan rohani. Merasa diri suci, sempurna, merasa dia sendiri yang Kristen sejati – lalu dengan mudah menjatuhkan vonis kepada orang lain. Tidak menyadari bahwa sebenarnya semua orang sama saja: tetap rawan terhadap godaan si jahat.
Kedua, tidak dapat memaafkan atau mengampuni orang lain yang berbuat salah kepadanya. Lupa, bahwa setiap orang masih bisa jatuh ke dalam dosa. Kita harus menerima kenyataan ini, dan memaafkannya. Belajar dari Yesus, bahwa yang penting bukanlah berapa kali orang jatuh, tetapi bagaimana ia bangun kembali setelah kejatuhannya.
Kita sulit mengampuni orang lain, kadang-kadang dengan tidak menyadari bahwa kita sendiri juga bisa bersalah, dan karena itu juga membutuhkan pengertian dan maaf dari orang lain.
Sudah, tetapi belum. Belum, tetapi sudah. Itulah dialetika kehidupan orang Kristen. Dalam pembacaan kita di dalam 1 Korintus 1:4-9, hal ini juga amat jelas. Pada satu pihak, selama kita hidup dalam dunia ini, kita sudah diberi kemungkinan untuk menikmati pelbagai macam karunia Allah yang indah. Kata ayat 5, “… kamu telah mejadi kaya dalam segala hal…” “… kamu tidak kekurangan dalam suatu karunia pun…” (ay. 7). Tetapi jangan berpuas diri. Kita juga masih harus menantikan penyataan Tuhan kita Yesus Kristus. Kita harus terus berjalan, dan berjalan dengan waspada. Dan “Ia juga akan meneguhkan kamu sampai kepada kesudahannya, sehingga kamu tak bercacat pada hari Tuhan kita Yesus Kristus” (ay. 8).
Hal ini dikatakan begitu, karena kita memang belum tiba. Paulus menyadari bahwa dalam perjalanan itu ada banyak godaan. Namun demikian, Yesus sudah datang. Tuhan sudah memberikan karunia-karunia-Nya. Karena itu tidak perlu kalah, tidak harus kalah, malah tidak boleh kalah! Memang tidak enak, tetapi sebenarnya ada kepastian. Kita pasti menang. Karena Yesus bukan saja belum datang, tetapi juga sudah datang.
Dalam salah satu sidang MPH-PGI, dengan penuh keprihatinan dan tidak jarang pula dengan penuh kecemasan, berjam-jam kami membicarakan gejala-gejala yang tidak menggembirakan: bagaimana umat Kristen di Indonesia semakin tersudut, terjepit, tertekan, bahkan tersisih. Hal itu terjadi di mana-mana. Agaknya, keadaaan akan semakin buruk saja pada waktu-waktu yang akan datang.
Saya tidak tahan lagi. Apa kita cuma bisa mengeluh dan menggerutu? Di antara ‘yang sudah’ dan ‘yang belum’ – antara realitas bahwa ‘Kristus sudah datang’ dan antisipasi bahwa ‘Ia masih akan datang’ – ada apa? Perjuangan!
Itulah arti dari hidup di antara dua Adven, hidup di antara Kristus yang sudah datang dan yang masih akan datang: Berharap! Berharap! Berharap! Dan berjuang!
Oleh: Eka Darmaputera
"Tatkala Allah Melawat Umat-Nya: Khotbah-khotbah tentang Adven dan Natal"
"Tatkala Allah Melawat Umat-Nya: Khotbah-khotbah tentang Adven dan Natal"