penulis: Dede
Tanggal 14-16 Agustus 2009 yang lalu, Komisi Pemuda GKI Cawang mengadakan sebuah acara ke Taman Wisata Alam Situ Gunung. Acara ini adalah kelanjutan dari program D'Journey yang dicetuskan Eka Putra Widjaya,salah seorang pengurus di komisi pemuda GKI Cawang.
etelah melalui beberapa pertimbangan mengenai lokasi, transportasi dan sebagainya, sembilan anggota komisi pemuda akhirnya sepakat berangkat ke Situ Gunung. Keberangkatan itu sendiri dibagi dua yaitu pukul 17:00 dan pukul 21:00. Peserta acara d'Journey yang ke empat kalinya diadakan ini adalah: Dwika, Eka, Sesi, Igustin, William, Nira, Maria, Khristin, dan Dede.
HARI PERTAMA
Eka, Dwika, Ari dan Dede bersama Pak Wali, supir GKI Cawang, berangkat pertama menuju lokasi. Di tengah perjalanan, kami juga menyempatkan diri untuk makan malam dan membeli beberapa dus martabak manis, martabak telur, dan donat. Walau sempat terhambat macet, perjalanan berjalan dengan menyenangkan dan kami pun tiba ke tujuan kurang lebih pukul sebelas malam.
Kami cukup terkejut melihat minimnya penerangan di lokasi dan ekstrimnya rute yang harus kami tempuh. Kemahiran seorang supir sungguh-sungguh diuji mengingat jalan yang harus dilalui kondisinya cukup kurang bersahabat.
Sesampainya di tempat wisata tersebut, kami mendapat kejutan kedua: Ponsel kami tidak bisa dipakai karena tidak ada sinyal sama sekali dan ternyata di tempat itu pun tidak ada telepon.
Lepas dari keterkejutan itu,kami berusaha mencari penjaga tempat itu. Akhirnya kami pun menemukan sang penjaga. Anehnya, sang penjaga nampak sangat waspada dan malah mematikan lampu ketika Dwika melihatnya berada di dalam sebuah rumah. Entah apa yang ada dipikiran sang penjaga. Mungkin saja kami dikira maling.
Setelah berhasil menemui dan berbicara dengannya, kami pun menuju ke bungalow (terdiri dari ruang tamu, ruang tidur dan kamar mandi) kami yang terletak kurang lebih 50 meter dari pinggir danau buatan di area tersebut.
Rupanya kami tidak sendirian disana. Ada rombongan mahasiswa Katolik dari Universitas Indonesia juga menginap disana.
Tak lama, kami pun memindahkan barang-barang bawaan kami dari mobil APV gereja kami ke bungalow tersebut dan mencicipi makanan yang kami beli.
Rombongan berikutnya datang kurang lebih jam setengah satu pagi. Seperti halnya saya, Eka, dan Dwika, merekapun terkejut akan tidak adanya sinyal di tempat itu.
Malam itu juga dilengkapi dengan sebuah kejutan: perayaan ulang tahun saya (Dede). Awalnya, saya dan Igustin keluar dari bungalow untuk mencoba menelepon pengurus tempat wisata itu untuk bernegosiasi soal biaya menginap kami (untungnya salah satu ponsel saya masih bisa digunakan untuk menelepon walau harus mencari titik-titik tertentu dimana sinyal bisa didapatkan). Setelah kami kembali ke bungalow, suasana sangat sepi dan pintu kamar tidur tertutup rapat. Begitu pintu saya buka, tiba-tiba mereka mengucapkan selamat ulang tahun sambil membawa kue ulang tahun yang dilengkapi 3 buah lilin. Mereka pun menyanyikan lagu "Happy Birthday" dan meminta saya meniup lilin di ujung lagu tersebut.
Perayaan tidak berlangsung lama karena kami harus menggotong kasur tambahan dari kamar sebelah.
Malam itu, berhubung kami sangat lelah, kami langsung tidur, diiringi musik dari ponsel eka yang katanya tidak bisa tidur kalau tidak sambil mendengar lagu. Tidur bertujuh di 2 kasur double-bed tentunya tidak begitu nyaman, tapi cukup untuk melepas lelah para peserta ini.
HARI KEDUA
Pagi-pagi sekali, sekitar pukul 05.30, kami terbangun oleh alarm dari ponsel Eka. Setelah itu beberapa peserta beranjak menuju pinggir danau yang saat ini sudah bisa terlihat jelas dibandingkan kemarin malam. Jujur saja, pemandangan di lokasi wisata tersebut tidaklah seindah bayangan saya, namun sejuknya udara dan keheningan yang ada cukup untuk menyegarkan hati dan pikiran kami.
Danau tersebut airnya sedang surut dan dermaganya pun sudah hancur. Nampaknya tempat ini memang kurang terawat (atau mungkin dibiarkan 'alami'?)
Dengan kamera digital yang kami bawa, kami mengambil cukup banyak foto. Para peserta nampak ceria dalam sesi foto-foto yang singkat ini.
Sekembalinya ke bungalow, kami makan pagi dengan martabak yang kami beli kemarin, biskuit yang kami bawa dari Jakarta, dan nasi uduk yang dijual oleh seorang ibu yang nampaknya memang berdagang di daerah itu.
Ada kejadian lucu pada pagi itu: Sewaktu kami sedang berfoto-foto di pinggir danau, ibu penjual nasi uduk dan gorengan itu sebenarnya sudah menghampiri saya, Igustin dan Nira menawarkan dagangannya. Tapi entah kenapa, saat ibu itu kembali menawarkan dagangannya di depan bungalow kami, Nira dengan polosnya bertanya, “Ibu jualan, ya?” Kami pun tertawa terbahak-bahak.
Setelah melakukan sedikit persiapan, kami pun berangkat dari bungalow kami pukul 09.15 untuk melakukan hiking di daerah sekitar Taman Wisata Situ Gunung tersebut didampingi oleh Mang Cecep, salah seorang pekerja di situ.
Rute awal kami adalah mengitari danau buatan. Jalan sedikit menanjak dan kami bisa melihat bungalow kami dari kejauhan. Bagian yang berat adalah ketika kami beranjak menuju air terjun Curug Sawer. Perjalanan kami pulang-pergi diperkirakan sekitar lima setengah kilometer dan medannya pun cukup berat mengingat banyak dan curamnya tanjakan. Melewati jalan yang kadang berbatu itu, Eka terlihat cukup kelelahan.Tidak lupa juga kami berfoto di air terjun kecil “pank punk” yang kami lewati di tengah perjalanan.
Di tengah rute tersebut kami beristirahat dua kali di tempat yang disediakan. Di tempat itu juga disediakan minuman dan makanan ringan yang sayangnya dijual dengan harga cukup mahal.
Akhirnya kami tiba di air terjun yang cukup indah itu. Ada banyak sekali pengunjung yang rata-rata masih berusia remaja di tempat itu. Kami pun beranjak mendekat untuk mengabadikan diri kami bersama air terjun tersebut melalui lensa kamera.
Ada lagi sebuah kejadian unik terjadi di lokasi ini. Salah seorang pengunjung yang sedang berenang di dekat air terjun tiba-tiba berteriak minta tolong. Nampaknya dia mengalami kram sehingga tidak bisa berenang.
Para pengunjung di sekitarnya dan Eka langsung ikut berteriak minta tolong namun Mang Cecep agak lambat bergerak. Mungkin, dia juga agak ragu untuk menolong karena beberapa orang di dekat pengunjung malang tersebut terlihat tertawa-tawa sehingga menimbulkan kesan bercanda. Namun, teman kami, William, segera terjun ke dalam air dan menolong pengunjung tersebut.
Sang pengunjung yang malang pun selamat dan William naik ke tepian dengan baju dan dompet yang basah kuyup. Agak heran memang, pengunjung yang ditolong William tersebut tidak mengucapkan terima kasih. Kami pun menyoraki William dengan sebutan “hero”.
Selepas dari kejadian itu, kami kembali pada aktifitas kami yang semula: berfoto.
Setelah foto bersama diambil, dan mengingat lokasi di sekitar air terjun itu sangat ramai, kami memutuskan untuk bermain-main di sungai kecil di samping air terjun itu. Aliran sungai itu cukup deras dan airnya juga dingin, cukup untuk menyegarkan kami yang sudah kelelahan itu.
Lagi-lagi nasib naas menimpa barang-barang William: Dia terpeleset di sungai kecil itu dan tas kecil berisi dua ponsel, sebuah pemutar musik, dan kamera digital miliknya tercebur dan basah. (Untungnya, semua perangkat elektronik itu tidak rusak setelah dibiarkan selama beberapa hari oleh William.)
Beberapa teman kami juga tidak lupa mencicipi air yang mengalir dari pecahan air terjun itu. “Segar,” kata mereka.
Akhirnya kami pun pulang melalui sebuah jembatan yang terbuat dari dua batang pohon panjang yang dirangkai dengan ranting-ranting pohon di antaranya.
Jalan pulang menuju bungalow kami lagi-lagi cukup melelahkan. Rute kami diwarnai dengan tanjakan yang cukup panjang dan rumah-rumah warga setempat di sekitar kami. Padahal, Mang Cecep berkata bahwa rute pulang kami lebih didominasi oleh jalan menurun.
Mungkin karena kelelahan, ditengah perjalanan, Dwika sempat terjatuh karena salah berpijak. Namun lukanya tidak seberapa dan kami pun melanjutkan perjalanan.
Di pinggir jalan banyak warga yang membuka warung makan yang tentunya menggoda kami yang kelaparan dan kelelahan. Tidak mau ketinggalan, banyak tukang ojek yang bersiaga menunggu pelanggan-pelanggan yang terlalu lelah untuk berjalan pulang.
Ketika kami sudah memasuki jalanan beraspal, Mang Cecep menyarankan kami untuk makan di tempat pilihannya, Warung Nasi Amelia. Walau dia berkata bahwa lokasinya dekat, kami berjalan cukup jauh menuju lokasi warung tersebut. Kami pun segera menyantap makanan-makanan yang ada disana dan tidak lupa untuk memesan makan siang kami keesokan harinya. Kami juga cukup terkejut melihat pemilik warung yang masih muda dan cantik.
Setelah kenyang, kami memutuskan untuk menyewa sebuah angkutan umum untuk kembali ke bungalow kami karena kami terlalu lelah untuk berjalan kembali.
Sesampainya di bungalow pukul 14.30, saya langsung mengambil giliran pertama untuk mandi sementara teman-teman yang lain bersantai di gazebo di depan bungalow kami.
Setelah mandi, saya pun ikut bersantai dan makan kue-kue yang kami bawa di gazebo. Tak lama, kami pun memutuskan untuk tidur siang.
Sore harinya, kami baru sadar bahwa para mahasiswa UI dan satu lagi rombongan, nampaknya karyawan-karyawan dari Esia, sedang mengadakan aktifitas. Para karyawan itu sibuk berkaraoke dengan volume yang cukup kencang dan para mahasiswa UI sibuk menyiapkan api unggun.
Kami tidak melakukan banyak hal selain duduk-duduk di ruang tamu dan berbincang-bincang tentang cinta. Setelah itu, kami pun berinisiatif mengambil kartu dan bermain capsa.
Malam itu, kami asyik bermain kartu. Eka, yang cukup berpengalaman di berbagai jenis permainan kartu pun mengajarkan Nira, Khristin dan saya cara bermain kartu setan dan kartu bohong. Namun, akhirnya Eka kewalahan sendiri mengajari kami yang masih terbingung-bingung dengan aturan permainan yang diajarkan.
Beberapa jam berlalu, kami memutuskan untuk melakukan renungan malam bersama-sama yang dipimpin Maria diikuti dengan sharing dari kami semua.
Malam itu kami tidur sekitar jam 23.00 dengan lelap karena masih kelelahan dari hiking pada siang hari itu.
HARI KETIGA
Pagi hari saya terbangun dengan punggung pegal karena harus tidur dengan posisi yang tidak enak di sofa.
Hari ini kami praktis kebingungan karena kami belum tahu bagaimana transportasi kami untuk pulang nanti mengingat sulitnya komunikasi antara kami dan pihak gereja.
Setelah mencari-cari tempat yang pas untuk mendapatkan sinyal, saya pun menelpon Ari, karyawan tata usaha gereja kami (yang juga ikut dalam perjalanan kami kesini namun langsung kembali pulang) untuk memastikan transportasi kami nanti dan saya pun lega mendengar kabar baik.
Mengisi waktu luang kami sebelum makan siang dan berkemas untuk pulang pada sore harinya, sebagian dari kami lagi-lagi bermain kartu di gazebo depan bungalow kami dan sisanya tidur lagi karena masih lelah.
Kurang lebih pukul 4 sore, Pak Wali pun datang menjemput kami. Suasana di tempat wisata itu sangat lengang dan sepi mengingat sebelumnya kami terbiasa mendengar hiruk pikuk karaoke ‘tetangga’ kami.
Di tengah perjalanan kami sempat berhenti sebentar untuk makan malam dan membeli makanan ringan, minuman, dan obat untuk teman kami, Maria yang mengalami gangguan pencernaan.
Sekitar pukul setengah 9 malam kami pun tiba di GKI Cawang untuk kemudian berpisah kembali satu dengan yang lainnya.
Berakhirlah kebersamaan kami di D’Journey 4 dan berakhir pula rentetan program D’Journey. Namun, kebersamaan kami akan tetap berlanjut pada acara-acara yang akan datang.
Sekian.
Tuhan Yesus memberkati kita semua.
Tanggal 14-16 Agustus 2009 yang lalu, Komisi Pemuda GKI Cawang mengadakan sebuah acara ke Taman Wisata Alam Situ Gunung. Acara ini adalah kelanjutan dari program D'Journey yang dicetuskan Eka Putra Widjaya,salah seorang pengurus di komisi pemuda GKI Cawang.
etelah melalui beberapa pertimbangan mengenai lokasi, transportasi dan sebagainya, sembilan anggota komisi pemuda akhirnya sepakat berangkat ke Situ Gunung. Keberangkatan itu sendiri dibagi dua yaitu pukul 17:00 dan pukul 21:00. Peserta acara d'Journey yang ke empat kalinya diadakan ini adalah: Dwika, Eka, Sesi, Igustin, William, Nira, Maria, Khristin, dan Dede.
HARI PERTAMA
Eka, Dwika, Ari dan Dede bersama Pak Wali, supir GKI Cawang, berangkat pertama menuju lokasi. Di tengah perjalanan, kami juga menyempatkan diri untuk makan malam dan membeli beberapa dus martabak manis, martabak telur, dan donat. Walau sempat terhambat macet, perjalanan berjalan dengan menyenangkan dan kami pun tiba ke tujuan kurang lebih pukul sebelas malam.
Kami cukup terkejut melihat minimnya penerangan di lokasi dan ekstrimnya rute yang harus kami tempuh. Kemahiran seorang supir sungguh-sungguh diuji mengingat jalan yang harus dilalui kondisinya cukup kurang bersahabat.
Sesampainya di tempat wisata tersebut, kami mendapat kejutan kedua: Ponsel kami tidak bisa dipakai karena tidak ada sinyal sama sekali dan ternyata di tempat itu pun tidak ada telepon.
Lepas dari keterkejutan itu,kami berusaha mencari penjaga tempat itu. Akhirnya kami pun menemukan sang penjaga. Anehnya, sang penjaga nampak sangat waspada dan malah mematikan lampu ketika Dwika melihatnya berada di dalam sebuah rumah. Entah apa yang ada dipikiran sang penjaga. Mungkin saja kami dikira maling.
Setelah berhasil menemui dan berbicara dengannya, kami pun menuju ke bungalow (terdiri dari ruang tamu, ruang tidur dan kamar mandi) kami yang terletak kurang lebih 50 meter dari pinggir danau buatan di area tersebut.
Rupanya kami tidak sendirian disana. Ada rombongan mahasiswa Katolik dari Universitas Indonesia juga menginap disana.
Tak lama, kami pun memindahkan barang-barang bawaan kami dari mobil APV gereja kami ke bungalow tersebut dan mencicipi makanan yang kami beli.
Rombongan berikutnya datang kurang lebih jam setengah satu pagi. Seperti halnya saya, Eka, dan Dwika, merekapun terkejut akan tidak adanya sinyal di tempat itu.
Malam itu juga dilengkapi dengan sebuah kejutan: perayaan ulang tahun saya (Dede). Awalnya, saya dan Igustin keluar dari bungalow untuk mencoba menelepon pengurus tempat wisata itu untuk bernegosiasi soal biaya menginap kami (untungnya salah satu ponsel saya masih bisa digunakan untuk menelepon walau harus mencari titik-titik tertentu dimana sinyal bisa didapatkan). Setelah kami kembali ke bungalow, suasana sangat sepi dan pintu kamar tidur tertutup rapat. Begitu pintu saya buka, tiba-tiba mereka mengucapkan selamat ulang tahun sambil membawa kue ulang tahun yang dilengkapi 3 buah lilin. Mereka pun menyanyikan lagu "Happy Birthday" dan meminta saya meniup lilin di ujung lagu tersebut.
Perayaan tidak berlangsung lama karena kami harus menggotong kasur tambahan dari kamar sebelah.
Malam itu, berhubung kami sangat lelah, kami langsung tidur, diiringi musik dari ponsel eka yang katanya tidak bisa tidur kalau tidak sambil mendengar lagu. Tidur bertujuh di 2 kasur double-bed tentunya tidak begitu nyaman, tapi cukup untuk melepas lelah para peserta ini.
HARI KEDUA
Pagi-pagi sekali, sekitar pukul 05.30, kami terbangun oleh alarm dari ponsel Eka. Setelah itu beberapa peserta beranjak menuju pinggir danau yang saat ini sudah bisa terlihat jelas dibandingkan kemarin malam. Jujur saja, pemandangan di lokasi wisata tersebut tidaklah seindah bayangan saya, namun sejuknya udara dan keheningan yang ada cukup untuk menyegarkan hati dan pikiran kami.
Danau tersebut airnya sedang surut dan dermaganya pun sudah hancur. Nampaknya tempat ini memang kurang terawat (atau mungkin dibiarkan 'alami'?)
Dengan kamera digital yang kami bawa, kami mengambil cukup banyak foto. Para peserta nampak ceria dalam sesi foto-foto yang singkat ini.
Sekembalinya ke bungalow, kami makan pagi dengan martabak yang kami beli kemarin, biskuit yang kami bawa dari Jakarta, dan nasi uduk yang dijual oleh seorang ibu yang nampaknya memang berdagang di daerah itu.
Ada kejadian lucu pada pagi itu: Sewaktu kami sedang berfoto-foto di pinggir danau, ibu penjual nasi uduk dan gorengan itu sebenarnya sudah menghampiri saya, Igustin dan Nira menawarkan dagangannya. Tapi entah kenapa, saat ibu itu kembali menawarkan dagangannya di depan bungalow kami, Nira dengan polosnya bertanya, “Ibu jualan, ya?” Kami pun tertawa terbahak-bahak.
Setelah melakukan sedikit persiapan, kami pun berangkat dari bungalow kami pukul 09.15 untuk melakukan hiking di daerah sekitar Taman Wisata Situ Gunung tersebut didampingi oleh Mang Cecep, salah seorang pekerja di situ.
Rute awal kami adalah mengitari danau buatan. Jalan sedikit menanjak dan kami bisa melihat bungalow kami dari kejauhan. Bagian yang berat adalah ketika kami beranjak menuju air terjun Curug Sawer. Perjalanan kami pulang-pergi diperkirakan sekitar lima setengah kilometer dan medannya pun cukup berat mengingat banyak dan curamnya tanjakan. Melewati jalan yang kadang berbatu itu, Eka terlihat cukup kelelahan.Tidak lupa juga kami berfoto di air terjun kecil “pank punk” yang kami lewati di tengah perjalanan.
Di tengah rute tersebut kami beristirahat dua kali di tempat yang disediakan. Di tempat itu juga disediakan minuman dan makanan ringan yang sayangnya dijual dengan harga cukup mahal.
Akhirnya kami tiba di air terjun yang cukup indah itu. Ada banyak sekali pengunjung yang rata-rata masih berusia remaja di tempat itu. Kami pun beranjak mendekat untuk mengabadikan diri kami bersama air terjun tersebut melalui lensa kamera.
Ada lagi sebuah kejadian unik terjadi di lokasi ini. Salah seorang pengunjung yang sedang berenang di dekat air terjun tiba-tiba berteriak minta tolong. Nampaknya dia mengalami kram sehingga tidak bisa berenang.
Para pengunjung di sekitarnya dan Eka langsung ikut berteriak minta tolong namun Mang Cecep agak lambat bergerak. Mungkin, dia juga agak ragu untuk menolong karena beberapa orang di dekat pengunjung malang tersebut terlihat tertawa-tawa sehingga menimbulkan kesan bercanda. Namun, teman kami, William, segera terjun ke dalam air dan menolong pengunjung tersebut.
Sang pengunjung yang malang pun selamat dan William naik ke tepian dengan baju dan dompet yang basah kuyup. Agak heran memang, pengunjung yang ditolong William tersebut tidak mengucapkan terima kasih. Kami pun menyoraki William dengan sebutan “hero”.
Selepas dari kejadian itu, kami kembali pada aktifitas kami yang semula: berfoto.
Setelah foto bersama diambil, dan mengingat lokasi di sekitar air terjun itu sangat ramai, kami memutuskan untuk bermain-main di sungai kecil di samping air terjun itu. Aliran sungai itu cukup deras dan airnya juga dingin, cukup untuk menyegarkan kami yang sudah kelelahan itu.
Lagi-lagi nasib naas menimpa barang-barang William: Dia terpeleset di sungai kecil itu dan tas kecil berisi dua ponsel, sebuah pemutar musik, dan kamera digital miliknya tercebur dan basah. (Untungnya, semua perangkat elektronik itu tidak rusak setelah dibiarkan selama beberapa hari oleh William.)
Beberapa teman kami juga tidak lupa mencicipi air yang mengalir dari pecahan air terjun itu. “Segar,” kata mereka.
Akhirnya kami pun pulang melalui sebuah jembatan yang terbuat dari dua batang pohon panjang yang dirangkai dengan ranting-ranting pohon di antaranya.
Jalan pulang menuju bungalow kami lagi-lagi cukup melelahkan. Rute kami diwarnai dengan tanjakan yang cukup panjang dan rumah-rumah warga setempat di sekitar kami. Padahal, Mang Cecep berkata bahwa rute pulang kami lebih didominasi oleh jalan menurun.
Mungkin karena kelelahan, ditengah perjalanan, Dwika sempat terjatuh karena salah berpijak. Namun lukanya tidak seberapa dan kami pun melanjutkan perjalanan.
Di pinggir jalan banyak warga yang membuka warung makan yang tentunya menggoda kami yang kelaparan dan kelelahan. Tidak mau ketinggalan, banyak tukang ojek yang bersiaga menunggu pelanggan-pelanggan yang terlalu lelah untuk berjalan pulang.
Ketika kami sudah memasuki jalanan beraspal, Mang Cecep menyarankan kami untuk makan di tempat pilihannya, Warung Nasi Amelia. Walau dia berkata bahwa lokasinya dekat, kami berjalan cukup jauh menuju lokasi warung tersebut. Kami pun segera menyantap makanan-makanan yang ada disana dan tidak lupa untuk memesan makan siang kami keesokan harinya. Kami juga cukup terkejut melihat pemilik warung yang masih muda dan cantik.
Setelah kenyang, kami memutuskan untuk menyewa sebuah angkutan umum untuk kembali ke bungalow kami karena kami terlalu lelah untuk berjalan kembali.
Sesampainya di bungalow pukul 14.30, saya langsung mengambil giliran pertama untuk mandi sementara teman-teman yang lain bersantai di gazebo di depan bungalow kami.
Setelah mandi, saya pun ikut bersantai dan makan kue-kue yang kami bawa di gazebo. Tak lama, kami pun memutuskan untuk tidur siang.
Sore harinya, kami baru sadar bahwa para mahasiswa UI dan satu lagi rombongan, nampaknya karyawan-karyawan dari Esia, sedang mengadakan aktifitas. Para karyawan itu sibuk berkaraoke dengan volume yang cukup kencang dan para mahasiswa UI sibuk menyiapkan api unggun.
Kami tidak melakukan banyak hal selain duduk-duduk di ruang tamu dan berbincang-bincang tentang cinta. Setelah itu, kami pun berinisiatif mengambil kartu dan bermain capsa.
Malam itu, kami asyik bermain kartu. Eka, yang cukup berpengalaman di berbagai jenis permainan kartu pun mengajarkan Nira, Khristin dan saya cara bermain kartu setan dan kartu bohong. Namun, akhirnya Eka kewalahan sendiri mengajari kami yang masih terbingung-bingung dengan aturan permainan yang diajarkan.
Beberapa jam berlalu, kami memutuskan untuk melakukan renungan malam bersama-sama yang dipimpin Maria diikuti dengan sharing dari kami semua.
Malam itu kami tidur sekitar jam 23.00 dengan lelap karena masih kelelahan dari hiking pada siang hari itu.
HARI KETIGA
Pagi hari saya terbangun dengan punggung pegal karena harus tidur dengan posisi yang tidak enak di sofa.
Hari ini kami praktis kebingungan karena kami belum tahu bagaimana transportasi kami untuk pulang nanti mengingat sulitnya komunikasi antara kami dan pihak gereja.
Setelah mencari-cari tempat yang pas untuk mendapatkan sinyal, saya pun menelpon Ari, karyawan tata usaha gereja kami (yang juga ikut dalam perjalanan kami kesini namun langsung kembali pulang) untuk memastikan transportasi kami nanti dan saya pun lega mendengar kabar baik.
Mengisi waktu luang kami sebelum makan siang dan berkemas untuk pulang pada sore harinya, sebagian dari kami lagi-lagi bermain kartu di gazebo depan bungalow kami dan sisanya tidur lagi karena masih lelah.
Kurang lebih pukul 4 sore, Pak Wali pun datang menjemput kami. Suasana di tempat wisata itu sangat lengang dan sepi mengingat sebelumnya kami terbiasa mendengar hiruk pikuk karaoke ‘tetangga’ kami.
Di tengah perjalanan kami sempat berhenti sebentar untuk makan malam dan membeli makanan ringan, minuman, dan obat untuk teman kami, Maria yang mengalami gangguan pencernaan.
Sekitar pukul setengah 9 malam kami pun tiba di GKI Cawang untuk kemudian berpisah kembali satu dengan yang lainnya.
Berakhirlah kebersamaan kami di D’Journey 4 dan berakhir pula rentetan program D’Journey. Namun, kebersamaan kami akan tetap berlanjut pada acara-acara yang akan datang.
Sekian.
Tuhan Yesus memberkati kita semua.