Pada tanggal 18 Februari 2012 yang lalu, Bina Jemaat beserta Komisi Pemuda mengadakan acara Bedah Buku “Menikah adalah Bunuh Diri: Kupasan Praktis dan Teologis”. Dalam acara bedah buku ini, kami mengundang sang penulis, yaitu “Joshua” Iwan Wahyudi beserta Pdt. Yanti Rusli sebagai narasumber.
Dari judul bukunya aja, kayaknya udah serem banget tuh ya…”Menikah adalah Bunuh Diri”…yang ada pembaca dibikin jiper duluan...tapi ternyata setelah dibaca dan “dibedah” bersama, buku ini jauh dari kesan itu.
Dalam pembahasan yang dilakukan oleh sang penulis, dikatakan bahwa salah satu mitos yang salah dalam menjalin hubungan dengan pasangan adalah mencari keutuhan dari pasangan. Misalnya orang-orang sering bilang, “Kamu adalah separuh nafasku…”, atau “Kau menyempurnakan diriku.”, dsb, dll... Kalau seseorang sebelum memasuki jenjang pernikahan merasa bahwa dirinya belum utuh, belum lengkap, bagaimana dia bisa membuat pasangannya merasa lengkap dan bahagia?
Lalu sering juga dibilang bahwa pernikahan adalah ujung dari perjalanan cinta. Ini juga salah. Justru pernikahan itu merupakan arena sesungguhnya dari perjuangan cinta. Menikah itu ibarat menggabungkan 2 gelas penuh air menjadi 1. Artinya masing-masing gelas harus meninggalkan sebagian dari dirinya. Bagian yang dibuang adalah bagian yang sifatnya tidak membangun pernikahan. Kebanyakan pernikahan gagal karena masing-masing pihak hanya terus mengharapkan hal-hal tertentu dari pasangannya. Kalau seperti ini jadi nggak akan pernah ngerasa puas. Ibaratnya seperti vacuum cleaner ketemu dengan vacuum cleaner. Dalam suatu pernikahan harus ada "take and give"-nya sehingga terjadi suatu keseimbangan. Harus ada "love and respect" juga. kita lihat pihak suami sulit untuk menunjukkan kasih sayangnya terhadap sang istri, sedangkan istri sulit untuk menghormati sang suami. Kalau masing-masing saling menuntut untuk terus disayangi dan dihormati tanpa juga melihat keinginan pasangan, yang ada pernikahan itu bisa berantakan.
Permasalahan yang juga sering timbul dalam pernikahan disebabkan oleh gagal memelihara hubungan tersebut. Memelihara hubungan ibaratnya kayak main kartu. Emang…kalo kita dapet kartu yang bagus bisa lebih gampang menang. Tapi kan nggak selalu kalau kita dapet kartu yang bagus otomatis bakalan menang. Kalo orangnya nggak bisa maininnya…ya sama aja…akhirnya juga akan kalah, gagal.
Pernikahan jangan dianggap sebagai tempat menyelesaikan masalah. Banyak orang yang beranggapan bahwa dengan menikah maka kebiasaan buruknya akan hilang. Misalnya sebelum menikah si cowok bilang saya orangnya boros tapi nanti kan kalo udah nikah ada istri yang bisa aturin pengeluaran…Ini pandangan yang salah. Pada kenyataannya banyak pasangan yang masih membawa kebiasaan buruknya ke kehidupan pernikahan, malah lebih gawatnya lagi malah jadi mempengaruhi pasangannya. Dalam suatu survey dikatakan bahwa 90% orang yang punya masalah dengan pornografi masih tetap melakukan kebiasaan buruknya itu setelah menikah sekalipun.
Jadi secara garis besar bisa disimpulkan, kalau ingin suatu hubungan berhasil, maka harus selalu ada usahauntuk menjadikan hubungan lebih baik lagi dari kedua pihak. Harus belajar untuk saling menjaga perasaan orang lain. Kalo kita nggak suka dengan perilaku pasangan kita sering akhirnya berujung pada perdebatan. Pada saat perdebatan terjadi, kita harus bisa menjaga perasaan pasangan kita. Perasaan tidak suka kita cukuplah dirasa saat itu saja, jangan terus dibawa setiap harinya sehingga mempengaruhi perilaku kita. Karena sebel jadinya kita marah-marah terus kepada pasangan. Lama kelamaan, persoalan awal yang menjadi sebab kita tidak suka, menjadi terus bertambah karena kita terus marah-marah. Terlebih lagi, kita harus ingat bahwa pernikahan Kristiani adalah pernikahan yang suci dengan Yesus sebagai Kepala Keluarganya. Teman-teman tentu tahu betul ayat "apa yang sudah dipersatukan Tuhan tidak boleh dipisahkan manusia". Jadi bagi kita yang akan memasuki jenjang pernikahan baiklah kita boleh berusaha untuk membina suatu hubungan yang baik dengan pasangan kita, dengan Kristus sebagai dasarnya. Bagi yang belum punya pasangan, baiklah juga hal-hal ini boleh menjadi bekal untuk hari esok. Selamat berusaha :)
Dari judul bukunya aja, kayaknya udah serem banget tuh ya…”Menikah adalah Bunuh Diri”…yang ada pembaca dibikin jiper duluan...tapi ternyata setelah dibaca dan “dibedah” bersama, buku ini jauh dari kesan itu.
Dalam pembahasan yang dilakukan oleh sang penulis, dikatakan bahwa salah satu mitos yang salah dalam menjalin hubungan dengan pasangan adalah mencari keutuhan dari pasangan. Misalnya orang-orang sering bilang, “Kamu adalah separuh nafasku…”, atau “Kau menyempurnakan diriku.”, dsb, dll... Kalau seseorang sebelum memasuki jenjang pernikahan merasa bahwa dirinya belum utuh, belum lengkap, bagaimana dia bisa membuat pasangannya merasa lengkap dan bahagia?
Lalu sering juga dibilang bahwa pernikahan adalah ujung dari perjalanan cinta. Ini juga salah. Justru pernikahan itu merupakan arena sesungguhnya dari perjuangan cinta. Menikah itu ibarat menggabungkan 2 gelas penuh air menjadi 1. Artinya masing-masing gelas harus meninggalkan sebagian dari dirinya. Bagian yang dibuang adalah bagian yang sifatnya tidak membangun pernikahan. Kebanyakan pernikahan gagal karena masing-masing pihak hanya terus mengharapkan hal-hal tertentu dari pasangannya. Kalau seperti ini jadi nggak akan pernah ngerasa puas. Ibaratnya seperti vacuum cleaner ketemu dengan vacuum cleaner. Dalam suatu pernikahan harus ada "take and give"-nya sehingga terjadi suatu keseimbangan. Harus ada "love and respect" juga. kita lihat pihak suami sulit untuk menunjukkan kasih sayangnya terhadap sang istri, sedangkan istri sulit untuk menghormati sang suami. Kalau masing-masing saling menuntut untuk terus disayangi dan dihormati tanpa juga melihat keinginan pasangan, yang ada pernikahan itu bisa berantakan.
Permasalahan yang juga sering timbul dalam pernikahan disebabkan oleh gagal memelihara hubungan tersebut. Memelihara hubungan ibaratnya kayak main kartu. Emang…kalo kita dapet kartu yang bagus bisa lebih gampang menang. Tapi kan nggak selalu kalau kita dapet kartu yang bagus otomatis bakalan menang. Kalo orangnya nggak bisa maininnya…ya sama aja…akhirnya juga akan kalah, gagal.
Pernikahan jangan dianggap sebagai tempat menyelesaikan masalah. Banyak orang yang beranggapan bahwa dengan menikah maka kebiasaan buruknya akan hilang. Misalnya sebelum menikah si cowok bilang saya orangnya boros tapi nanti kan kalo udah nikah ada istri yang bisa aturin pengeluaran…Ini pandangan yang salah. Pada kenyataannya banyak pasangan yang masih membawa kebiasaan buruknya ke kehidupan pernikahan, malah lebih gawatnya lagi malah jadi mempengaruhi pasangannya. Dalam suatu survey dikatakan bahwa 90% orang yang punya masalah dengan pornografi masih tetap melakukan kebiasaan buruknya itu setelah menikah sekalipun.
Jadi secara garis besar bisa disimpulkan, kalau ingin suatu hubungan berhasil, maka harus selalu ada usahauntuk menjadikan hubungan lebih baik lagi dari kedua pihak. Harus belajar untuk saling menjaga perasaan orang lain. Kalo kita nggak suka dengan perilaku pasangan kita sering akhirnya berujung pada perdebatan. Pada saat perdebatan terjadi, kita harus bisa menjaga perasaan pasangan kita. Perasaan tidak suka kita cukuplah dirasa saat itu saja, jangan terus dibawa setiap harinya sehingga mempengaruhi perilaku kita. Karena sebel jadinya kita marah-marah terus kepada pasangan. Lama kelamaan, persoalan awal yang menjadi sebab kita tidak suka, menjadi terus bertambah karena kita terus marah-marah. Terlebih lagi, kita harus ingat bahwa pernikahan Kristiani adalah pernikahan yang suci dengan Yesus sebagai Kepala Keluarganya. Teman-teman tentu tahu betul ayat "apa yang sudah dipersatukan Tuhan tidak boleh dipisahkan manusia". Jadi bagi kita yang akan memasuki jenjang pernikahan baiklah kita boleh berusaha untuk membina suatu hubungan yang baik dengan pasangan kita, dengan Kristus sebagai dasarnya. Bagi yang belum punya pasangan, baiklah juga hal-hal ini boleh menjadi bekal untuk hari esok. Selamat berusaha :)