Yeremia 1: 4-8; 15:10-11; 18; 20:7-9
Yeremia, artinya: semoga Yahweh mengendorkan rahim itu! Dia diberi nama ini, mungkin karena sulit sekali waktu lahir. Seolah-olah rahim ibunya terus mencengkeram, tidak mau melepaskan bayi itu keluar. Itu hanya sebuah kemungkinan.
Namun, sepanjang yang kita tahu, seluruh hidup Yeremia adalah hidup yang sulit. Hidup yang penuh konflik. Penuh pertentangan atau konflik. Termasuk konflik batin! Konflik dengan diri sendiri. Dan dengan Tuhan.
Yeremia adalah tokoh yang kontroversial. Ada yang amat mengaguminya. Saya termasuk di antaranya. Sebab pada diri Nabi Yeremia ini, saya melihat realitas pergumulan seorang pelayan Tuhan yang sejati! Tetapi banyak juga yang tidak menyukainya. Seorang rekan pendeta, ketika tahu salah satu nabi favorit saya adalah Yeremia, berkata, “Apanya sih dari Yeremia yang mengagumkan? Nabi yang meragukan panggilannya, sampai mencaci Tuhan, kok dikagumi?”
Lain kepala memang lain rambutnya. Karena itu, Anda bebas untuk menyukai atau tidak menyukai nabi ini. Bebas! Tetapi lebih baik kalau Anda kenal siapa dan bagaimana Yeremia ini.
Pembacaan Alkitab kita terdiri dari tiga bagian, menjelaskan tiga macam atau tiga tingkat pergumulan Nabi Yeremia, yang juga sering menjadi pergumulan para pelayan Tuhan. Tiga macam atau tiga tingkat pergumulan itu adalah: (1) mau, tetapi tidak bisa; (2) tidak bisa dan tidak mau; dan (3) tidak mau, tetapi tidak bisa.
1. Mau, tetapi tidak bisa
Dalam Yeremia 1:4, Tuhan mengatakan: “… Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau. Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa.”
Sebelum keluar dari kandungan. Artinya, sebelum Yeremia bisa berbuat apa-apa, Tuhan sudah menetapkan dia menjadi nabi. Ini mau mengatakan bahwa menjadi pelayan Tuhan itu semata-mata adalah ketetapan Tuhan. Karena Tuhan yang memanggil. Tuhan yang memilih.. Bukan kita!
Kalau ini kita saadaei betul, maka konsekuensinya ada dua: (1) pelayanan itu bukan untuk diperebutkan; dan (2) pelayanan itu bukan untuk dihindarkan. Bandingkan dalam praktik. Ada yang berebut?
Mana yang lebih baik? Sama-sama jeleknya dan sama-sama salahnya! Salah kalau orang berambisi mau melayani, karena merasa bisa. Tetapi juga salah kalau orang tidak mau melayani, walaupun sebenarnya bisa.
Yang benar bagaimana? Sikap yang benar, ketika Tuhan memanggil kita untuk melayani adalah: bergumul dengan sungguh-sungguh. Dua sikap yang salah tersebut adalah sikap-sikap yang tidak mau bergumul. Yang satu, tidak bergumul karena merasa hebat, merasa bisa. Sedang yang lain, juga tidak mau bergumul, karena tidak mau.
Apa yang harus digumuli? Ketidakmampuan kita! Yeremia 1:6, “… Ah, Tuhan ALLAH! Sesungguhnya aku tidak pandai berbicara, sebab aku ini masih muda!”
Ini baru sikap yang benar! Ada kerendahan hati! Orang tidak mungkin bisa melayani, kalau tidak ada kerendahan hati. Secara formal, sebagai pelayan, tetapi minta dilayani, kemauannya mesti dituruti, keinginannya mesti diperhatikan, suaranya mesti didengar. Jika demikian, itu bukan melayani!
Ketika orang betul-betul merasa tidak layak untuk suatu tugas pelayanan, baru ada ruang untuk Tuhan mengatakan, “… Janganlah katakan: Aku ini masih muda, tetapi kepada siapapun engkau Kuutus, haruslah engkau pergi, dan apapun yang Kuperintahkan kepadamu, haruslah kausampaikan. Jangan takut kepada mereka, sebab Aku menyertai engaku untuk melepas engkau…” Karena itu, kalau Tuhan memanggil Anda untuk melayani, jangan katakan: Aku mau, karena aku bisa! Juga jangan katakan: Aku tidak mau karena aku tidak bisa! Tetapi katakanlah: Aku mau, walaupun aku tidak bisa!
2. Tidak bisa dan tidak mau (Yer 15:10-11, 18)
Perikop yang kedua (Yer 15:11, dst.) menjelaskan pergumulan lebih lanjut dari Yeremia sebagai seorang pelayan Tuhan. Mari kita bandingkan ayat 11 dan ayat 18. Ayat 11 mengatakan, “Sungguh, ya Tuhan, aku telah melayani Engkau dengan sebaik-baiknya…” Tetapi dalam ayat 18 dia mengatakan,”Mengapakah penderitaanku tidak berkesudahan, dan lukaku sangat payah, sukar disembuhkan?”
Sudah berusaha melakukan tugas pelayanan dengan sebaik-baiknya, tetapi apa? Apakah orang berterima kasih? Tidak! Orang menghargai? Tidak! Malah sebaliknya: dia menerima omelan, sungutan, kecaman. Mungkin juga fitnah, makian.
Karena itu, memang bisa dipahami kalau pada tingkat tertentu, seperti Yeremia, orang sudah tidak tahan lagi! “Tuhan, saya sudah berusaha, namun saya tidak bisa, dan saya juga tidak mau!”
Daya tahan manusia itu selalu ada batasnya. Kalau kita membaca ayat 15, maka soal yang dihadapi Yeremia adalah soal hidup atau mati, bukan sekadar tersinggung hati. Sudah melayani dengan sebaik-baiknya, lha kok malah begini? Dalam keadaan dengan seperti ini, “anehkah” kalau Yeremia sampai memberi kesan telah mencaci Tuhan? Ayat 18: “Sungguh Engkau seperti sungai yang curang bagiku, air yang tidak dapat kupercayai.”
Kita marah bukan kalau mendengar orang mencaci Tuhan? Tetapi ternyata, kalau And abaca ayat-ayat selanjutnya, Tuhan sendiri tidak marah. Tuhan lebih suka orang yang di dalam doanya berkata-kata keras kepada-Nya, tetapi dari hati yang jujur dan tulus, ketimbang orang yang di dalam doa memuji-muji Tuhan dengan kata-kata selangit, tetapi dengan tindak tanduknya ia memaki-maki dan menjatuhkan nama Tuhan!
3. Tidak mau, tetapi tidak bisa (Yer. 20:7-9)
Kita sudah membahas dua ciri pelayan Tuhan yang sejati: (1) rendah hati. Mau mengakui ketidakmampuannya, ketidaklayakannya. Saya mau, Tuhan, tetapi tidak bisa; (2) orang yang bergumul luar biasa di dalam pelayanannya. Orang itu sampai mengatakan: Tuhan, saya tidak bisa dan tidak mau melayani lagi! Tetapi masih ada cirri yang ketiga dari seorang pelayan yang sejati. Yaitu: sebenarnya sudah tidak mau melayani, tetapi tidak bisa. “Tidak mau, tetapi tidak bisa.”
Seperti kesaksian Yeremia dalam 20:9, kalau orang sudah mencapai kelas dan kedewasaan yang tertinggi sebagai pelayan Tuhan, maka tidak bisa berhenti melayani. “Sebenarnya kalau mengikuti kata hati, saya sudah lama berhenti. Saya sudah tidak peduli lagi. Melayani itu hanya bikin banyak sakit hati. Sudah, stop saja! Istria tau suami saya juga bilang begitu! Anak saya juga bilang begitu! Tuhan, mulai sekarang, saya tidak bisa melayani dan tidak mau melayani lagi!” Ini fase yang ketiga itu.
Tetapi kalau ia betul-betul berhenti di situ, maka gagallah dia menjadi pelayan. Sayang! Ibaratnya sudah tinggal ujian terakhir kok gagal! Tetapi puji Tuhan, kalau ia bisa bertahan dan mengatakan, “Tuhan, sebenarnya saya tidak mau lagi melayani, tetapi ternyata tidak bisa!”
Apa yang dapat membuat orang sekuat ini? Motivasi dari dalam! “Dalam hatiku ada sesuatu yang seperti api yang menyala-nyala, terkurung dalam tulang-tulangku.” Apa yang seperti api yang menyala-nyala di dalam hati? Kuasa Tuhan! Kuasa Roh Kudus Tuhan! “Engkau terlalu kuat bagiku dan Engkau menundukkanku.”
Inilah yang menjadi sumber kekuatan dan daya tahan pelayanan kita. Apa ada Tuhan di dalam hati kita? Kalau kita melayani diri sendiri, kita gampang kecewa. Banyak hal akan mengecewakan kita. Kalau pusat pelayanan kita itu orang lain, kita juga akan kecewa. Tetapi kalau yang kita layani itu Tuhan, kita akan kuat. Kita akan terus bertahan. Selama Tuhan menjadi sumber kekuatan kita.
Namun, sepanjang yang kita tahu, seluruh hidup Yeremia adalah hidup yang sulit. Hidup yang penuh konflik. Penuh pertentangan atau konflik. Termasuk konflik batin! Konflik dengan diri sendiri. Dan dengan Tuhan.
Yeremia adalah tokoh yang kontroversial. Ada yang amat mengaguminya. Saya termasuk di antaranya. Sebab pada diri Nabi Yeremia ini, saya melihat realitas pergumulan seorang pelayan Tuhan yang sejati! Tetapi banyak juga yang tidak menyukainya. Seorang rekan pendeta, ketika tahu salah satu nabi favorit saya adalah Yeremia, berkata, “Apanya sih dari Yeremia yang mengagumkan? Nabi yang meragukan panggilannya, sampai mencaci Tuhan, kok dikagumi?”
Lain kepala memang lain rambutnya. Karena itu, Anda bebas untuk menyukai atau tidak menyukai nabi ini. Bebas! Tetapi lebih baik kalau Anda kenal siapa dan bagaimana Yeremia ini.
Pembacaan Alkitab kita terdiri dari tiga bagian, menjelaskan tiga macam atau tiga tingkat pergumulan Nabi Yeremia, yang juga sering menjadi pergumulan para pelayan Tuhan. Tiga macam atau tiga tingkat pergumulan itu adalah: (1) mau, tetapi tidak bisa; (2) tidak bisa dan tidak mau; dan (3) tidak mau, tetapi tidak bisa.
1. Mau, tetapi tidak bisa
Dalam Yeremia 1:4, Tuhan mengatakan: “… Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau. Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa.”
Sebelum keluar dari kandungan. Artinya, sebelum Yeremia bisa berbuat apa-apa, Tuhan sudah menetapkan dia menjadi nabi. Ini mau mengatakan bahwa menjadi pelayan Tuhan itu semata-mata adalah ketetapan Tuhan. Karena Tuhan yang memanggil. Tuhan yang memilih.. Bukan kita!
Kalau ini kita saadaei betul, maka konsekuensinya ada dua: (1) pelayanan itu bukan untuk diperebutkan; dan (2) pelayanan itu bukan untuk dihindarkan. Bandingkan dalam praktik. Ada yang berebut?
Mana yang lebih baik? Sama-sama jeleknya dan sama-sama salahnya! Salah kalau orang berambisi mau melayani, karena merasa bisa. Tetapi juga salah kalau orang tidak mau melayani, walaupun sebenarnya bisa.
Yang benar bagaimana? Sikap yang benar, ketika Tuhan memanggil kita untuk melayani adalah: bergumul dengan sungguh-sungguh. Dua sikap yang salah tersebut adalah sikap-sikap yang tidak mau bergumul. Yang satu, tidak bergumul karena merasa hebat, merasa bisa. Sedang yang lain, juga tidak mau bergumul, karena tidak mau.
Apa yang harus digumuli? Ketidakmampuan kita! Yeremia 1:6, “… Ah, Tuhan ALLAH! Sesungguhnya aku tidak pandai berbicara, sebab aku ini masih muda!”
Ini baru sikap yang benar! Ada kerendahan hati! Orang tidak mungkin bisa melayani, kalau tidak ada kerendahan hati. Secara formal, sebagai pelayan, tetapi minta dilayani, kemauannya mesti dituruti, keinginannya mesti diperhatikan, suaranya mesti didengar. Jika demikian, itu bukan melayani!
Ketika orang betul-betul merasa tidak layak untuk suatu tugas pelayanan, baru ada ruang untuk Tuhan mengatakan, “… Janganlah katakan: Aku ini masih muda, tetapi kepada siapapun engkau Kuutus, haruslah engkau pergi, dan apapun yang Kuperintahkan kepadamu, haruslah kausampaikan. Jangan takut kepada mereka, sebab Aku menyertai engaku untuk melepas engkau…” Karena itu, kalau Tuhan memanggil Anda untuk melayani, jangan katakan: Aku mau, karena aku bisa! Juga jangan katakan: Aku tidak mau karena aku tidak bisa! Tetapi katakanlah: Aku mau, walaupun aku tidak bisa!
2. Tidak bisa dan tidak mau (Yer 15:10-11, 18)
Perikop yang kedua (Yer 15:11, dst.) menjelaskan pergumulan lebih lanjut dari Yeremia sebagai seorang pelayan Tuhan. Mari kita bandingkan ayat 11 dan ayat 18. Ayat 11 mengatakan, “Sungguh, ya Tuhan, aku telah melayani Engkau dengan sebaik-baiknya…” Tetapi dalam ayat 18 dia mengatakan,”Mengapakah penderitaanku tidak berkesudahan, dan lukaku sangat payah, sukar disembuhkan?”
Sudah berusaha melakukan tugas pelayanan dengan sebaik-baiknya, tetapi apa? Apakah orang berterima kasih? Tidak! Orang menghargai? Tidak! Malah sebaliknya: dia menerima omelan, sungutan, kecaman. Mungkin juga fitnah, makian.
Karena itu, memang bisa dipahami kalau pada tingkat tertentu, seperti Yeremia, orang sudah tidak tahan lagi! “Tuhan, saya sudah berusaha, namun saya tidak bisa, dan saya juga tidak mau!”
Daya tahan manusia itu selalu ada batasnya. Kalau kita membaca ayat 15, maka soal yang dihadapi Yeremia adalah soal hidup atau mati, bukan sekadar tersinggung hati. Sudah melayani dengan sebaik-baiknya, lha kok malah begini? Dalam keadaan dengan seperti ini, “anehkah” kalau Yeremia sampai memberi kesan telah mencaci Tuhan? Ayat 18: “Sungguh Engkau seperti sungai yang curang bagiku, air yang tidak dapat kupercayai.”
Kita marah bukan kalau mendengar orang mencaci Tuhan? Tetapi ternyata, kalau And abaca ayat-ayat selanjutnya, Tuhan sendiri tidak marah. Tuhan lebih suka orang yang di dalam doanya berkata-kata keras kepada-Nya, tetapi dari hati yang jujur dan tulus, ketimbang orang yang di dalam doa memuji-muji Tuhan dengan kata-kata selangit, tetapi dengan tindak tanduknya ia memaki-maki dan menjatuhkan nama Tuhan!
3. Tidak mau, tetapi tidak bisa (Yer. 20:7-9)
Kita sudah membahas dua ciri pelayan Tuhan yang sejati: (1) rendah hati. Mau mengakui ketidakmampuannya, ketidaklayakannya. Saya mau, Tuhan, tetapi tidak bisa; (2) orang yang bergumul luar biasa di dalam pelayanannya. Orang itu sampai mengatakan: Tuhan, saya tidak bisa dan tidak mau melayani lagi! Tetapi masih ada cirri yang ketiga dari seorang pelayan yang sejati. Yaitu: sebenarnya sudah tidak mau melayani, tetapi tidak bisa. “Tidak mau, tetapi tidak bisa.”
Seperti kesaksian Yeremia dalam 20:9, kalau orang sudah mencapai kelas dan kedewasaan yang tertinggi sebagai pelayan Tuhan, maka tidak bisa berhenti melayani. “Sebenarnya kalau mengikuti kata hati, saya sudah lama berhenti. Saya sudah tidak peduli lagi. Melayani itu hanya bikin banyak sakit hati. Sudah, stop saja! Istria tau suami saya juga bilang begitu! Anak saya juga bilang begitu! Tuhan, mulai sekarang, saya tidak bisa melayani dan tidak mau melayani lagi!” Ini fase yang ketiga itu.
Tetapi kalau ia betul-betul berhenti di situ, maka gagallah dia menjadi pelayan. Sayang! Ibaratnya sudah tinggal ujian terakhir kok gagal! Tetapi puji Tuhan, kalau ia bisa bertahan dan mengatakan, “Tuhan, sebenarnya saya tidak mau lagi melayani, tetapi ternyata tidak bisa!”
Apa yang dapat membuat orang sekuat ini? Motivasi dari dalam! “Dalam hatiku ada sesuatu yang seperti api yang menyala-nyala, terkurung dalam tulang-tulangku.” Apa yang seperti api yang menyala-nyala di dalam hati? Kuasa Tuhan! Kuasa Roh Kudus Tuhan! “Engkau terlalu kuat bagiku dan Engkau menundukkanku.”
Inilah yang menjadi sumber kekuatan dan daya tahan pelayanan kita. Apa ada Tuhan di dalam hati kita? Kalau kita melayani diri sendiri, kita gampang kecewa. Banyak hal akan mengecewakan kita. Kalau pusat pelayanan kita itu orang lain, kita juga akan kecewa. Tetapi kalau yang kita layani itu Tuhan, kita akan kuat. Kita akan terus bertahan. Selama Tuhan menjadi sumber kekuatan kita.
Oleh: Eka Darmaputera
"Menyembah dalam Roh dan Kebenaran: Khotbah-khotbah tentang Kehidupan Beribadah dan Bergereja yang Kontekstual"
"Menyembah dalam Roh dan Kebenaran: Khotbah-khotbah tentang Kehidupan Beribadah dan Bergereja yang Kontekstual"